Senin, 31 Mei 2010

Pojok

Media massa harus pandai-pandai pilih narasumber, ini berita atau infotaiment?

Media massa hati-hati terhadap pemberitaan teroris, niat memberi informasi malah buat senang hati teroris

TAJUK RENCANA

Media Bersaing, Teroris Tertawa dan Masyarakat Kecewa

Tanpa kita sadari, teroris memanfaatkan media untuk mensukseskan aksi mereka. Menyangkut terorisme, media memang tidak hentinya meliput 24 jam non stop. Entah bagaimana prosesnya, tetapi kini keadaannya semakin membingungkan. Masyarakat lebih terkuras energinya untuk sekadar bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?

Masih ingat drama penyergapan teroris di Temanggung beberapa bulan yang lalu? Drama ini merupakan anti-klimaks yang memupuskan harapan berjuta-juta warga Indonesia yang menanti buronan nomor satu Noordin M Top tewas ditangan pasukan anti teroris Densus 88. Tetapi ternyata yang terbunuh bukan Noordin M Top. Setelah semua semakin jelas, masyarakat Indonesia-lah yang kecewa. Ternyata Noordin masih berkeliaran. Mungkin masyarakat yang menyaksikan televisi di rumah sudah keburu senang melihat headline “Noordin Tewas” kembali khawatir. Ternyata terorisme di Indonesia belum usai. Kini disinyalir masih banyak mata rantai teroris di Indonesia semakin meluas.

Memang, media disini berusaha untuk menampilkan berita terbaru dan tercepat, paling depan daripada media lain. Akibatnya, tanpa konfirmasi yang jelas, media sudah memvonis bahwa Noordin yang tewas. Pertanyaannya, darimana kabar itu muncul? Siapa yang memberitahu?. Spekulasi, tuduhan dan dugaan pun silih berganti berdatangan menghampiri pihak berwenang dan masyarakat secara umum yang akhirnya melahirkan opini. Semua itu tak terlepas dari peran media yang merupakan basis terdepan dalam memberikan dan mengolah informasi kepada masyarakat. Peran media begitu penting sehingga keberadaannya menjadi sangat vital dalam kehidupan bernegara. Informasi terkait tewasnya gembong teroris kelas wahid di Indonesia yaitu Nordin M Top bukan hanya sekedar pelayanan dari media kepada masyarakat namun ini juga dijadikan media sebagai senjata untuk menaikkan rating mereka. Oleh sebab itu, informasi dan pemberitaan yang diberikan mengundang banyak tanya akan kebenaran informasi sekaligus mendahului dan mengganggu tugas pihak berwenang dalam mengungkap kebenaran.

Pemberitaan dan informasi serta tugas dari pihak berwenang yang berusaha menguak kasus teror ini setidaknya menjadi bahan tertawaan para teroris karena masyarakat khususnya, media selaku penggiring opini memberikan informasi yang masih simpang siur dan terkesan tergesa-gesa guna menaikkan rating yang justru malah membingungkan masyarakat dalam membatu pihak berwenang dalam menangkap dan mencegah aksi terror. Hal ini juga disebabkan persaingan yang ketat antar media yang berlomba-lomba memberikan informasi dan berita yang sering memakai kata eksklusif dalam berita mereka, sehingga terkesan salah satu media merasa yang terbaik dengan yang lainnya. Begitu pula tindakan pihak yang berwenang dalam mengungkap dan menangkap pelaku teror menjadi sedikit terganggu.

Persaingan media yang ketat dalam memberikan penilaian dan pandangan yang membuat bangsa Indonesia sibuk dengan perdebatan yang anti klimaks terkait pengungkapan siapa dan apa motif para pelaku teror menjalankan aksinya yang kesekian kali di Indonesia. Sedangkan para teroris tertawa melihat kita sibuk membicarakannya dengan berdebat, berspekulasi dan menuduh orang yang disangka tewas dalam aksi penggrebekan itu adalah Noordin M. Top. Para teroris mungkin bisa tertawa terbahak-bahak karena mereka menilai aksinya untuk mengelabuhi instansi ke Polisian Indonesia dan masyarakat telah berhasil.

Kita hanya terpaku bahwa senjata teroris itu hanyalah bom. Padahal, lebih dahsyat lagi adalah propaganda yang mereka sebarkan, kalau boleh disebut sebagai “bom psikologis”. Entah melalui perorangan atau isu tewasnya Noordin M Top yang memperkeruh suasana dan terlanjur muncul di media massa. Teroris tentu tidak bodoh. Mereka dapat menggunakan apa saja untuk melancarkan aksinya. Hal yang bisa kita lakukan hanya sedikit bersikap skeptis terhadap informasi yang belum jelas dan peka terhadap segala macam kejadian di sekitar masyarakat yang janggal. Memerangi terorisme haruslah melibatkan seluruh komponen bangsa, tak terkecuali media. Kongkretnya, mari kita lawan aksi terorisme bersama-sama demi keamanan bangsa dan Negara Indonesia!

(Endah Setiyaningrum/153080077/F)

Pojok

Sri mulyani mundur dari jabatan menkeu Indonesia hijrah ke AS.
Jangan-jangan ingin merasakan empuknya kursi baru AS, ya?

Korban lumpur Lapindo menuntut Aburizal bakeri ganti rugi.
Mantu sampai bermilyar-milyar saja bisa, masak ganti rugi ngak bisa!!

Konggres Partai demokrat berjalan lancar.
Andi Malarangeng tergeser mundur!

Pemilihan ketua KPK harus profesional.
Kalau amatiran, bikin sayembara saja!

(ENDAH SETIYANINGRUM/153080077)

Minggu, 30 Mei 2010

Tajuk Rencana

Masih adakah hak untuk teroris?

Berita Terorisme kembali hangat dibicarakan oleh media, setelah sempat meredup oleh pemberitaan kasus Century. Aksi penembakan teroris yang dilakukan Polis dinilai sebgai sikap yang kurang tepat. Penembakan yang dilakukan Polri dan Densus 88 dinilai sebagai langkah yang terkesan sangat gegabah. Tanpa ada penyelidikan dan pengadilan terhadap teroris , Polri dengan begitu saja melakukan penembakan mati secara membabi buta kepada para teroris. Tampaknya asas praduga tak bersalah dan mekanisme hukum tidak dipergunakan lagi oleh Polisi danDensus 88, mereka lebih memilih menembak mati mereka ketimbang melumpukan?
Sudah beberapa peristiwa penembakan mati teroris secara langsung di tempat kejadian dilakukan oleh Polisi dan Densus 88. Seperti penggrebegan teroris di Ciputat pada 9 Oktober yang berbuntut tewasnya dua buronan Syaifuddin Zuhri dan M. Syahrir di sebuah rumah kos-kosan yang terletak di Jalan Semanggi, Ciputat Timur. Hal sama juga terjadi ketika Densus 88 menyergap di sebuah rumah di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, yang hingga memakan waktu sehari semalam dan menewaskan Ibrohim atau Boim. Begitu pula ketika Densus 88 menyergap buronan kelas wahid Noordin M.Top di desa Kepuhsari Mojosongo Jebres.
Saat itu masyarkat dipertontonkan bagaimana usaha tim Densus 88 menyergap seorang teroris dengan memberondong peluru dan juga peledak ke dalam rumah. Dramatisasi yang dilakukan oleh media ini justru secara langsung menjadikan masyarakat yakin bahwa tindakan membumi hanguskan teroris dengan menembak mati menjadi dimaklumi. Padahal tindakan penembakan mati adalah tindakan yang tidak mengakkan hukum di Indonesia
Polri dan Densus 88 seharusnya tidak melakukan penembakan mati kepada para teroritanpa proses hokum terlebih dahulu. Setidaknya teroris-teroris tersebut di beri hak untuk menjalani proses hokum sebagaimana mestinya. Para Teroris seharusnya di beri kesmpatan untuk menjalani penyelidikan dan pengadilan. Apalagi Negara kita adalah Negara hokum dimana setiap WNI punya kedududkan yang sama dalam hukum dan juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum

(Saras Putri Utami-153080055)


Sabtu, 29 Mei 2010

Terorisme yang kian merajalela

Kelompok teroris hingga saat ini kian gencar melancarkan ancamannya. Selama ini, ada kesan bahwa setelah aparat keamanan berhasil melumpuhkan sejumlan pentolan gerakan terorisme, seolah tugas kita sudah selesai. Padahal, ibarat menangkap ikan dengan jala yang besar, tentu yang tertangkap hanya yang besar-besar saja. Sementara ikan kecil, bisa saja lolos dari sergapan. Kejadian yang sama berlaku dalam penuntasan kasus terorisme. Gembong besar tertangkap, sementara yang kecil lolos. Dan bila tiba waktunya, bibit kecil bisa menjadi besar.

Memang, sejumlah aktor terorisme, seperti Noordin M Top, Dr Azhari, Dulmatin, dll, sudah ditembak mati. Pertanyaannya, akankah bibit terorisme yang sudah lama ditabur selama ini, bisa kita tangkap juga ? Bibit-bibit yang dulu tidak terlihat, dan tidak berarti apa-apa, kini sudah besar dan membahayakan. Lihat saja apa yang terjadi secara beruntun di Aceh.

Bahkan terakhir kita dipusingkan dengan mencuatnya teroris kelas kakap yang baru, yaitu Abdullah Sunata. Oleh Polri, keberadaan Abdullah terus diburu. Sebab, oleh banyak kalangan, termasuk oleh Polri sendiri, power Abdullah setara dengan Noordin M Top dan Dulmatin. Yang membawa pengaruh begitu besar dan kapasitasnya yang mumpuni untuk menggerakkan roda terorisme. Dengan demikian, patut disebut, bahwa ancaman terorisme masih kian mengkhawatirkan dan membahayakan kita semua.

Bahkan, sebagaimana disebutkan oleh para petinggi Polri, target terorisme tidak lagi sekedar membuat kengerian bagi banyak orang, dengan melakukan peledakan bom di tempat-tempat umum. Misalnya di hotel, Mal, atau pusat keramaian lainnya. Namun, kini target sudah diarahkan ke arah yang lebih besar yaitu, istana negara. Artinya, detik-detik perayaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2010 ini pun tak lepas dari ancaman terorisme.

Jaringan teroris terus menebar ancaman dan semakin menunjukkan kekuatannya. Mereka hendak membuktikan betapa kuatnya jaringan yang telah dibangun selama ini dan sekaligus mengancam masyarakat dunia. Tidak heran ketika aparat kepolisian terus gencar memburu teroris dan telah berhasil menembak mati dan menangkap sejumlah pelaku teror, kemudian memunculkan reaksi menantang dari jaringan terorisme internasional.

Misalnya adalah kelompok Al Qaeda yang semakin menggurita. Seperti diberitakan oleh banyak media, Al Qaeda bahkan berencana menyerang penjara di Indonesia, yang merupakan tempat ditahannya sejumlah pelaku teror. Kuat dugaan, bahwa jaringan terorisme di tanah air tumbuh dan berkembang karena sokongan sejumlah organisasi teroris internasional, khususnya dalam hal pendanaan. Kalau kita hendak membumihanguskan teroris dalam negeri, maka satu tugas utama akan memutus mata rantai terhadap jaringan internasional.

Satu ancaman yang paling fenomenal dari kelompok ini adalah diincarnya detik-detik perayaan kemerdekaan pada 17 Agustus nanti. Bisa dibayangkan betapa hebohnya dunia dan betapa malunya Indonesia bila ancaman ini benar-benar terbukti. Kita sangat berterimakasih atas kerja keras yang terus dilakukan oleh aparat kepolisian dan intelijen dalam memburu jaringan teroris. Secara perlahan namun pasti, kerja keras itu telah membuahkan hasil. Terakhir pihak kepolisian menyebar foto dan nama empat orang yang sedang diburon terkait dengan sejumlah aksi teror di dalam negeri. Mereka diduga berperan penting, baik selaku perakit bom, perekrut calon “pengantin”, dan bahkan yang bertugas menyusup ke arena sasaran. Pencarian ini sejalan dengan langkah serius untuk melacak keberadaan sang aktor utama, yaitu Abdullah Sunata yang hingga kini masih belum tertangkap.

Perang terhadap teror tak boleh mengendur. Perang yang tentunya tak boleh sekedar propaganda, himbauan dan slogan-slogan semata. Kita harus memulai dengan langkah yang lebih intensif. Pengawasan di pintu-pintu masuk di sejumlah bandara, pelabuhan, dan lain-lain harus lebih diperketat. Perburuan harus terus ditingkatkan. Demikian juga dengan pengamanan di tempat-tempat vital dan fasilitas umum. Operasi intelijen tak boleh kalah dibanding kelihaian para pelaku teror. Hanya dengan keseriusan kitalah, ancaman terorisme tersebut dapat dipatahkan.

Christina N ( 153080104 / F )